Di muka jalan menuju rumah saya, ada sebuah gerobak kayu yang agak usang termakan panas dan hujan. Seorang Bapak paruh baya pada waktu-waktu tertentu ada di sana. Gerobak yang didalamnya terdapat mesin jahit pancal berwarna hitam ini sang bapak ini setiap hari mencatri penghidupan dengan menawarkan jasa permak jeans. Bebrapa kali saya menemuinya untuk memakai jasanya menyesuaikan baju silat saya dengan ukuran saya. Menurut saya Bapak ini cukup terampil dan cepat dalam menjahit. Pertanyaan saya apakah ia bisa membuat baju atau celana bahkan jas dijawabnya dengan yakin, bisa!
Dengan penampilan yang sederhana saya bisa memperkirakan berapa pendapannya sehari, sejumlah uang yang saka kira tak mencukupi untuk kebutuhan hidup layak di Bogor saat ini. Saya tergelitik oleh sebuah keingintahuan, mengapa ia tak membuka kios jahit dan menerima jasa pembuatan kemeja atau celana atau pakaian jas yang lebih menjanjikan dari sisi harga jasa? Saya terperangah karena ia menjawab dengan jawaban yang sederhana, bahwa penghasilannya ini sudah cukup. Ini tentu saja bertentangan dengan kondisi beliau yang – maaf – berpenampilan yang sangat minim atau bahkan bisa jadi menurut kita berkekurangan secara materi. Dosakah jika ia merasa bahagia dengan kondisinya?
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living standards across the whole society. Defiinsi ini menyeret fikiran kita bahwa kemiskinan adalah terkait dengan batas absolut standar hidup sebagian masyarakat miskin dan menyangkut standar hidup relatif dari masyarakat. Dalam sebuah diskusi tentang standar kemiskinan, ada wacana mengarahkan standar ini ke suatu sudut pandang lebih integral dengan memasukkan teori kebahagiaan dengan pendekatan sosioekonomi yang lebih holistik. Maka secara teori kemiskinan absolut bisa jadi tidak absolut menurut relatifitas kemiskinan dan cara hidup masyarakat lainnya.
Dalam kasus kemiskinan yang boleh jadi tidak dirasakan oleh masyarakat miskin itu sendiri, maka kita diminta untuk mundur sejenak dari definisi-definisi tentang kemiskinan yang selama ini ada. Boleh jadi program pengentasan kemiskinan malah mengarahkan mereka kepada kemiskinan da;am bentuk lainnya. Jangan sampai alih-alih membebaskan mereka dari kemiskinan finansial, kita kadung menjebloskan mereka ke kemiskinan religius, kemiskinan karakter, kemiskinan mental, kemiskinan budaya dan sejumlah ukuran psikometrik lainnya. Di titik inilah pemerintah, para elit sosial, Organisasi Zakat, LSM, dan pegiat kemiskinan lainnya dan diuji untuk memetakan kemiskinan secara tepat.
Pandangan tentang kemiskinan tak bisa tunggal. Semua teori tentang kemiskinan yang ada saat ini tak boleh memuaskan kita dan kemudian berhenti mendiagnosanya. Saya bahkan yakin bahwa problem kemiskinan bisa dipotret dengan membuat sebuah persamaan matematika sederhana yang tidak rumit namun dengan pembilang yang agregat. Saya mempercayainya mirip dengan konsep fraktal. Maka dengan begini kita akan dapat menyelasaikan problem yang terlihat rumit ini dengan lebih optimis. Untuk membuat persamaan matematika fraktal tentang kemiskinan ini Saya sendiri mungkin tak mampu menemukan persamaannya dengan cepat. Namun saya yakin seseorang akan menemukannya.
Ditulis oleh Moh. Arifin Purwakananta
Dimuat di Republika Tanggal 15 Mei 2009