Di Negeri Sampah, Pemulung adalah Pahlawan

Suatu kali saya sengaja datang untuk memandangi bangunan di bilangan Tunjungan Surabaya. Dulu bangunan itu bernama Hotel Orange, ketika tahun 1945 sejumlah pemuda Soerabaja dengan semangat anti penjahan mamanjat dari sisi luar gedung dan merobek bendera belanda, menyisakan merah putih dan mengereknya dengan iringan pekik merdeka. Heroisme pemuda Serabaja bukan hanya ada ditataran simbolisme, 10 November 1945 mereka mempertahankan setiap jengkal kedaulatan dengan airmata, darah bahkan nyawa. Konteks kepahlawanan kala itu ditorehkan pada momen pengorbanan terhebat dari setiap anak bangsa. Seakan pahlawan adalah mereka yang sudah mati.
Hari ini konteks kepahlawanan mau-tidak mau harus berkembang. Bisa berminggu-minggu mendefinisikan kata pahlawan hari ini. Tak mudah juga menyepakati apa sebenarnya yang layak diperjuangkan oleh pahlawan. Apakah pahlawan adalah hanya pejuang nasionalisme, atau juga pejuang kemanusiaan, budaya, lingkungan hidup atau pejuang sosial misalnya. Tawaran redefinisi Pahlawan terjebak dalam kegamangan manakala kita tak mampu memproyeksikan konteksnya dalam dinding kekinian.
Di zaman kapanpun pahlawan selalu menawarkan solusi sekaligus siap berkorban untuk pencapaian kemaslahatan bersama. Maka perjuangan pahlawan selalu konsisten. Dalam tolok ukur yang berbeda, pahlawan suatu kepentingan bisa jadi adalah sekaligus “penjahat” bagi kepentingan tertentu lainnya. Di sinilah konsistensi manjadi penting. Konsistensi memberi arti pada perjuangan sekecil apapun, menjadikannya lebih punya bobot. Kekuatan konsistensi inilah yang jadi ragi bagi perjuangan-perjuangan kecil, merekatkan, menjadikannya komunitas kepahlawanan yang dibutuhkan bagi negeri ini.
Mari kita membumi. Saya sering bertanya, apakah masih ada kepahlawanan di zaman kini, ketika tak ada yang rela bersusah payah member solusi yang disumbangkan untuk kepentingan umum, tak ada pengorbanan, dan tak ada konsistensi. Ini memang sedikit hablur, tapi kita harus berani memilih jawaban. Maka saya ingin mengajak kita semua member makna pahlawan kepada orang-orang kecil, mereka yang terpinggirkan, yang jadi residu sejarah. Bukan sentimental, ini adalah sebuah keberpihakan. Tak heran jika di negeri sampah maka pemulung adalah pahlawan. Di negeri yang orang kayanya disusbsidi Negara, si miskin adalah pahlawan. Di negeri yang semua makanannya adalah impor maka petani yang menanam padi adalah pahlawan. Di negeri yang semua dihitung serba angka dan uang ukurannya maka pahlawannya adalah lelaki tua yang berdzikir mendoakan kita semua.

Moh. Arifin Purwakananta
Dimuat di Republika 7 November 2008

No comments: