Republika, 27 Juni 2006
Tanpa ingin menyederhanakan masalah, menurut saya paling sedikit ada tiga masalah dasar pendidikan kita, - dan juga bagi kebanyakan negara berkembang lainnya - yaitu sistem pendidikan, kualitas guru dan institusi pendidikan serta pemerataan pendidikan. Saya menyebutnya segitiga elevasi pendidikan. Kalau kita mampu memecahkan reaksi atom dari tiga kutubnya dan menyeimbangkannya, maka rakyat kita yang jumlahnya 200 jutaan ini akan punya komposisi ideal yang akan menopang kemajuan Indonesia.
Sistem pendidikan nasional sejak lahirnya UU No. 2 tahun 1989 tak pernah kunjung memuaskan kita semua. Bahkan kelahirannya juga mendapat pro kontra waktu itu. Sederet masalah timbul akibat sulit mengurai benang kusut pendidikan Indonesia. Perdebatan tentang perlu tidaknya ujian nasional manjadi salah satu contohnya. Dan masih ada sederet persoalan lainnya. Lebih parah lagi, belum sempurnanya sistem pendidikan kita tak memicu kita untuk bebenah serius soal pendidikan kita. Jangankan meningkatkan, menjalankan amanah anggaran pendidikan seperti pemenuhan 20% dari anggaran negara saja kita masih belum mudeng. Belum lagi bicara pendidikan kita yang cenderung membuat siswa cuma mengembangkan otak kiri sehinga lambat laun daya cipta kreasi dan budidaya bangsa – yang notabene dikembangkan oleh pendidikan yang merancang kemewahan pendidikan otak kanan – makin tumpul dan mati. Pantas akhirnya untuk membuat peniti pun kita tak tahu lagi caranya dan harus impor. Lihatlah untuk membuat rakyat pintar berapa persen jumlah sekolah yang dikawal penuh negara ini, dan berapa yang hanya mengandalkan kepedulian orang-perorang dan yayasan.
Bergesernya guru dan institusi sekolah kita menjadi lebih business like ketimbang nuansa nilai kejuangan dan semangat mengembangkan peradaban adalah puncak dari budaya materi yang dianut bangsa ini. Pendidikan hanyalah semacam industri. Maka anak sekolah diluluskan bagai produk cetakan, mahasiswa bagai ceplok telor. Ceplok telor yang lulus adalah yang sesuai dengan ceplok telor contohnya, yang tak sesuai dianggap tak lulus dan dibuang atau dianggap bukan produk sekolah. Paradigma ceplok telor ini telah menurunkan grade kualifikasi guru yang harusnya bukan cuma tukang cetak. Semua orang bisa jadi guru, meski bukan punya kualifikasi pemandu bakat dan pengembang kepribadian anak didik.
Maka survivalisme masyarakat menghadapi mahalnya sekolah membuahkan dampak yang luar biasa. Prosentasi penduduk yang bisa sekolah dengan layak amat sedikit. Tidak meratanya fasilitas pendidikan desa dan kota tak pernah disadari oleh kita. Maka si miskin tak pernah bisa mengenyam pendidikan kelas satu. Pendidikan yang sudah sangat minimalis ini tidak pula merata. Kita memang mengirim dan memenangkan olimpiade sekolah dan mahasiswa, tapi silakan cek latar belakang mereka. Berapa persen dari mereka yang benar-benar mewakili “rakyat”. Lalu kita kehilangan kesempatan anak Indonesia beberapa generasi lagi jika tak ada gagasan berani tentang revolusi pendidikan.
Inilah pendidikan kita. Pendidikan model ini yang melahirkan kita dan juga para pemimpin kita sekarang. Tak heran kita akan menyaksikan siswa kita memamerkan dan saling tukar foto dan video bersama pacar mereka melalui ponsel. Jangan heran menyaksikan kebijakan pemerintah yang tak pintar dan makin menyengsarakan. Jangan juga heran menyaksikan peragaan siaran langsung anarkisme oleh mahasiswa ceplok telor kita.
Ditulis oleh : Moh. Arifin Purwakananta
No comments:
Post a Comment