Memimpin Kesetimbangan
Dalam beberapa kali perjalanan saya ke pelosok-pelosok negeri ini dalam tugas sebagai amil zakat, saya sering merasakan banyak komunitas masyarakat Indonesia yang bersahaja dalam kemiskinan dan keterbatasannya. Tak terasa adanya jejak-jejak kepemimpinan pemerintahan. Ganti presiden dan ganti menteri, mereka seperti tak terpengaruh. Bukannya tak ada pemerintahan daerah di sana , namun saya merasakan kekuatan kesenyawaan harmoni alam dan manusia yang tak mungkin dikalahkan oleh sekedar birokrasi kepemerintahan kabupaten dan desa.
Sebut saja Desa Windusakti di balik pegunungan di bilangan Brebes. Di lokasi yg keterjangkauannya harus ditempuh dengan perjalanan terjal, berliku yang dilanjutkan dengan perjalanan kaki menembus hutan dan lereng curam ini, rakyatnya kaya akan rasa berkecukupan. Mereka hidup dari apa yang mereka tanam dan disediakan alam. Bahkan terasa sekali pengabdian dan kecintaan kepada alam melebihi keinginan komsumsi dan kerakusan menguasai. Kepala desa dan aparat desa adalah kelompok elit komunitas ini yang dari gaya bicaranya lebih merupakan panggilan tugas dan mengabdi dari pada memerintah. Tak semua prenduduknya bisa berbahasa Indonesia. Keteraturan alam dan kepatuhan terhadap adat sebagai local value menyelamatkan mereka dari rasa miskin dan ini nilainya lebih besar dari keberadaan pemerintahan. Amat miris jika kebersahajaan ini dirusak oleh sistem demokrasi yang menawarkan konsep kompetitif kelompok pada pilkada dan pemilu nasional.
Coba juga sesekali anda berkunjung ke Desa Loksakon, menyeberang dengan kapal kayu beberapa jam dari Luwuk Sulawesi Tengah di susul naik tambangan ke pantai yang indah di Pulau Peling di bilangan Banggai kepulauan. Desa di tepi pantai yang sembilan tahun lalu sempat didera tsunami ini dihuni oleh penduduk yang sangat ramah dan cerdas dengan penguasaan bahasa Indonesia yang sangat baik. Konsumsi ikan yang cukup mungkin telah membuat mereka cukup protein. Dengan seluruh gaya hidup mereka yang sederhana dan serba cukup maka godaan budaya kota boleh jadi adalah sebuah ancaman. Keteraturan alam dan kebersahajaan ini juga sangat dominan. Bukan tak ada kepemerintahan desa, namun apa yg ditawarkan demokrasi di desa seindah ini berupa kompetisi pilkada cara pemilihan ala orang kota yang seragam menjadi konsep yang sangat sepele dibanding dengan susunan sistem yang membuat keindahan harmoni kehidupan bahagia mereka. Informasi yang masuk ke desa ini berupa siaran radio bergelombang pendek dari seberang pulau bahkan ikut andil dalam membuat sebagian mereka yang mendengarkan merasa miskin. “ Walau berganti Presiden, keadaan torang ya seperti ini pak”, demikian seorang tokoh desa menyampaikan kepada saya dengan logat sulawesinya yang khas.
Kepemimpinan selalu menawarkan kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Indonesia dengan jutaan rakyat yang secara absolut tak berdaya ini harus dibangkitkan dengan tidak menawarkan janji materi. Untuk itu maka keluhuran manusia, kekayaan alam dan kesetimbangan sistem budaya kita adalah bekal membahagiakan warga negeri ini. Dengan ini pulalah kita akan mampu bersaing dengan ikut bersama warga dunia menciptakan kebahagiaan bersama. Maka jangan ukur keindonesiaan dengan formalisme kebangsaan dan simbol-simbol yang kita tiru mentah-mentah dari luar. Dengan upaya keadilan pemimpin untuk akses dan kesempatan, masyarakat harus merdeka dan bahagia dalam konteksnya sendiri. Jangan biarkan mereka cuma memasang bendera merah putih di depan rumah, tapi mari bersama mematri rasa cinta tanah air di relung hati dan tulang sungsum kita.
Ditulis Oleh Moh. Arifin Purwakannata
dimuat di HU Republika Tanggal 17 Juli 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment