Anestesi Sosial, Bubarkan Kemelaratan


Ada yang lucu dari fenomena orang miskin kita. Dan lebih menarik karena mungkin bertentangan teori Maslow tentang rantai kebutuhan. Kaum melarat kita tak perlu harus memenuhi kebutuhan dasar untuk bisa menikmati aktualisasi diri dan seni. Lihatlah fenomena musik dangdut yang justru menjadi obat bius bagi sakit sosial yang mereka tanggung, minimal membuat mereka lupa akan penderitaan yang menghimpit. Di perkampungan di sudut-sudut Jakarta, sangat kencang suara musik dangdut keluar dari rumah-rumah petak. Dangdut dan musik keras lainnya rupanya bisa jadi obat penawar bagi kegetiran mereka. Tahukah anda bentuk candu yang lain?

Proses anestesi sosial ini sering luput dari perhatian kita. Kemelaratan rupanya adalah ibarat gunung api yang menumpahkan rasa mualnya yang ditahan bertahun-tahun. Ia perlu kanal-kanal, bahkan bendungan yang mungkin mampu menyalurkan energi kegeraman mereka. Bisul kemelaratan ini memang akakn mengalirkan nanah penderitaan yang tidak terperi, darah kotor mengalir, tapi saluran yang baik akan mengurangi sakit yang dirasakan mereka. Paling banter kita selallu terfikir mengkompres bisul sosial ini agar tidak sakit cenat-cenut, dan menjadi ledakan sosial. Semua fikiran tentang orang miskin masih dalam kerangkan menghilangkan sakit mereka, mengurangi penderitaan, sebuah anastesi sosial yang tak pernah dilanjutkan dengan pengobatan atau oparasi terhadap akar kemelaratan itu sendiri.

Anehnya pula kita cepat lupa dengan penderitaan rakyat karena mahalnya BBM dan naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Tiba-tiba kita diperlihatkan punya masalah bangsa yang lebih besar dan urgen yaitu toleransi kebangsaan. Kita kembali bicara hal yang dasar semisal ideologi. Lalu ini jadi masalah utama kita. Kemiskinan bukan merupakan masalah kita lagi. Benarkah? Kita jadi kehilangan konteks ke Indonesiaan. Bukankah rakyat melarat juga sudah bertoleransi untuk kemiskinannya sendiri dengan tidak protes banyak-banyak kepada perampok negeri ini. Atau ini juga dirancang sebagai - apa yang saya istilahkan - anestesi sosial.

Toleransi kebangsaan dan keragaman jadi basi jika dihadapkan dengan mozaik bangsa tak jelas susunannya ini. Maukah kita bertoleransi dengan menyisakan sedikit kekayaan kita buat modal kebangkitan saudara-saudara kita kaum melarat? Obat bukan cuma penghilang rasa sakit. Siapa peduli, kaum melarat kita tetap saja akan mengkonsumsi obat bius kemelaratannya dan pada saat yang sama kecurangan telah membuat segelintir pecundang menjadi juragan negeri ini. Bicara tentang bubar-membubarkan, saya mengajak : Bubarkan Kemelaratan!

Moh. Arifin Purwakananta
Dimuat di Republika, 6 Juni 2008

No comments: